Saturday, October 8, 2011

Senyum dalam Matamu

Tatapanmu bagai
kota tak berpenghuni
Sepi, kosong

Tatapanmu bagai
malam tanpa rembulan
gelap, kelam

Mana tatapanmu yang dulu?
Yang selalu kucari
yang selalu kurindu

aku hanya berharap
tatapanmu kembali
tatapanmu bagai
bocah kecil
yang tak pernah
kehilangan semangatnya

08.10.11
p.hilary

Pualam penuh kebohongan

Hai kamu!
Gadis kecil berparas elok
pipimu merona merah
dibalik putihnya kulit halusmu

rambutmu bagai tali keemasan
yang dikepang,
dihiasi pita bewarna merah muda

pakaianmu begitu indah
satin putih dihiasi bunga
tak ada gadis lain yang
tidak menginginkan sandangmu

kau mungkin
begitu menyenangkan untuk dilihat
senyumanmu yang tak pernah pudar itu
selalu menghiasi wajah serimu

tapi kau tahu apa?
kau mungkin dapat tersenyum
tapi apakah hatimu juga menyinggungkan garis bujur itu?

andai saja
aku dapat seperti dirimu
yang dapat menutupi apa yang kurasa dalam hati
dengan sebuah tawa kebohongan

08.10.11
p.hilary

Untitled

andai ada kata
untuk mengungkapkan
apa yang terpendam dalam hati

dalam setiap kesunyian
yang begitu berarti
tanpa sebuah angan
yang dapat membawa pergi

ketika satu tetes air kehidupan
membekukan keelokan paras
yang terbang pergi
jauh tak dapat diraih

mungkin bisa saja
terjawab sebuah doa
teriakan harapan
yang nampaknya tak kunjung sampai
entah kapan itu

08.10.11
p.hilary

Tuesday, October 4, 2011

Sayatan Terakhir

“Dibawah mentari memoir bersenandung. Menceritakan kembali kenangan masa lalu dalam rangkaian melodi indah. Lantunan lagu yang tak akan pernah berhenti dan terus diperdengarkan.”


Hari itu adalah hari yang begitu dingin di Austria. Matahari tidak menunjukkan keramahannya pada dunia. Angin berhembus dengan tampak begitu tenang, namun menusuk tulang hingga ke relung yang terdalam. Tak ada kata bagiku untuk menutup mata dan kembali bermimpi. Aku harus membuat kisah di hari yang baru ini. Aku pun memaksa diriku untuk bangun dan berani menghadapi langit yang tampak tak bersahabat.

Ku tarik kayu berbentuk itu. Kumasukkan dalam kotak berwarna hitam. Cocok sekali warna kotak ini dengan langit, ku pikir. Lalu segera ku beranjak pergi, mencari celah yang memungkinkanku untuk menembus setiap hembusan dingin itu.

Sebelum beranjak pergi tadi, ku putuskan untuk mengenakan baju penghangat warna merah. Ku pikir, siapa tahu warna ini dapat mencerahkan wajah-wajah pucat diluar sana.

Aku pun sampai pada gedung tua bercat putih yang kini sudah memudar. The Burgtheater. Aku menghembuskan nafasku dengan berat, sepertinya kini aku siap.

Hari ini adalah hari besar dalam hidupku. sebuah sejarah penting, catatku dalam hati.
Aku akan memainkan melodi yang terangkai begitu indah di depan banyak orang. Sebuah resital sederhana, yang dihadiri orang-orang yang kuharapkan ikut menjadi saksi.

Pagi sedini ini, belum ada yang melepaskan dirinya dari tempat tidurnya yang begitu nyaman. Berdirilah aku disini seorang diri, tanpa orang lain. Rasanya panggung ini begitu besar. aku bagai sebuah kapal kecil ditengah luasnya lautan.

Kuputuskan untuk memulai secepat mungkin. Kembali ku keluarkan kayu berbentuk itu. lalu ku lantunkan lagu yang mungkin akan menjadi ketakutanku beberapa jam lagi.

Aku mendengar derap langkah seseorang. Tapi tak kuhiraukan itu.
tetap ku gesek senar ini dan melanjutkannya hingga not terakhir.

"Sempurna" suara pemuda bersamaan dengan tepuk tangan yang begitu kosong di ruangan sebesar ini. Kusipitkan mataku, berusaha untuk mengenali sosok berbusana biru diujung sana. Ah, pikirku. ku sunggingkan sebuah senyum.

"Pagi sekali kau datang."
Balasku pada pemuda yang kian lama makin mendekat itu.
ia memelukku dan mengelus rambutku.
"Kau lebih pagi bukan?"
Ia kemudian menarik sesuatu dari tas yang ia panggul. Ternyata setoples castangel.
"Tentu kau tidak akan menolak makanan favoritmu untuk sarapan di hari besarmu ini bukan?"
Ia pun menyodorkan bungkusan itu padaku.

Aku menariknya lagi ke dalam pelukanku.
"Kau selalu tau cara untuk membuatku tersenyum."
ujarku padanya.

"Ada yang salah denganmu"
ia berkata. Aku rasa, dia dapat mengetahui keresahanku ini.
"Apakah muka ku menampakkan semuanya dengan begitu jelas?" kataku diselingi tawa.
"Kau begitu tampak kuatir. Tenanglah, Vy. Aku tahu kamu bisa. Dulu kamu duduk dibelakang sana bukan? Dengan mata berbinar memandang panggung ini. Saat itu aku tahu, bahwa hatimu sudah berada di panggung ini sejak awal. Lalu, coba lihat dimana dirimu sekarang. Kamu telah berhasil untuk mendapatkan tempat di panggung ini, dan yang lebih hebatnya lagi, kamu akan menjadi sorotan utama. Bermain sendiri diiringi orkestra yang begitu indah" ucap Sebastian Clementy Shiel.

Hari ini adalah penggenapan janjiku kepada ayahku. Aku pernah berjanji padanya bahwa suatu saat nanti aku akan melantunkan rangkaian melodi indah untuknya, di tempat yang kini kupijak. Sayangnya ayah tidak bisa melihatku saat ini secara langsung. Tapi aku percaya bahwa ayah tetap memberikan tatapan terpukau dari atas sana. Andai saja penyakit itu tidak merenggut dirinya..

“Kamu sudah membawa alat perekam untuk nanti, bukan?”
Telitiku kepadanya. Pria dihadapanku itu mengangguk. Pintu besar yang berada di ujung ruangan terbuka dan menampakkan cahaya yang masuk ke dalam.
“Sepertinya sudah saatnya kamu berlatih.”
Ia kembali mencium keningku dan bergegas duduk di kursi penonton.

Detik-detik bergulir begitu cepat, begitu pula jantungku yang berdetak tanpa henti. Tiba saatnya lampu itu diarahkan padaku. “Lihat ayah, aku akan memainkan lagu kesukaanmu di panggung ini. Tempat kita mengucap janji tekadku. Aku harap ayah menyukainya.” Kataku dalam hati. Akupun kemudian memainkan nada pertama dari lagu Les enfants de la terre. Melodi yang terdengar bagai air yang beriak di hilir sungai. Suara kicau burung menyautnya dengan desisan angin yang menggoyang kelopak pohon-pohon cemara. Rasanya aku seperti merasakan kembali belaian ayah yang biasa ia berikan ketika aku berhasil merangkai suatu melodi. Lalu kusadari sesuatu, bahwa aku merindukannya. Tetap dengan gigih ku selesaikan lagu itu, walaupun air mata ini jatuh begitu saja tanpa dapat kutahan. Tepuk tangan penonton kemudian membangunkan ku dari sebuah mimpi singkat yang membuat hatiku hangat sekaligus getir. Aku berhasil melakukannya. Tapi entah mengapa, aku masih berharap dapat melihat senyuman ayah yang sudah lama kunantikan itu.

Orang-orang tampak begitu ceria dan memberikan salaman hangatnya untukku. Kebanyakan dari mereka mengucapkan
“Selamat, Ivory. Ayahmu pasti bangga padamu.”
Nampaknya semua yang ada di hadapanku kini seperti mengingatkanku pada ayah.

Sebastian kemudian memberiku pelukan hangat andalannya yang dapat menenangkan hatiku tanpa ia ketahui.
“Selamat, Ivory Bredenza Liest. Kau berhasil mengambil hatiku dari atas panggung itu. Sepertinya aku sudah tidak mempunyai hati lagi di dalam diriku.”
Candanya yang begitu berarti buatku. Akupun tertawa,
“Jadi, baru saat ini saja aku berhasil memukau dirimu? Lalu sebelumnya, untuk siapa hatimu itu?”
Iapun menggaruk kepalanya seperti orang yang kebingungan.
“Haha sepertinya kau selalu bisa memenangkan setiap pembicaraan kita.”
Ia kemudian mengambil biola dari tanganku dan membantu ku membawanya. Kami berdua berjalan di tengah dinginnya kota seni ini. Langit sudah kembali gelap. Sepertinya hari ini aku tidak melihat mentari sama sekali. Tapi bukan masalah bagiku karena aku begitu bahagia atas pertunjukkan ku hari ini.

“Kamu tahu tidak? Panggung itu seperti candu untukku. Aku selalu terus menerus menginginkan bermain diatasnya.”
Sahutku membuka pembicaraan.
“Tentu saja, kau mewarisi bakat ayahmu.”
jawabnya. Sebastian bukanlah seorang pemain musik. Ayahku pernah menentang hubungan kami karena hal itu. Ayahku selalu bermimpi untuk menjodohkan ku dengan pria yang mempunyi karier yang sukses di bidang musik. Namun hatiku berkata lain. Aku jatuh cinta dengan seorang pelukis. Apakah aku salah mencintai seorang seniman yang beraliran lain? Pertanyaan itu sempat menghantuiku selama beberapa tahun.

Aku bertemu dengan Sebastian di sebuah taman di tengah kota yang bernama Stadtpark, tempat aku selalu bermain musik untuk sekedar mencari suasana yang berbeda. Ia selalu berada disana untuk melukis keindahan taman tersebut setiap harinya. Beberapa minggu kami lalui tanpa ada sapaan sama sekali. Aku dan Sebastian tidak memperdulikan satu sama lain pada awalnya. Namun ternyata perkiraan ku salah. Ia ternyata telah memperhatikanku bermain dalam minggu-minggu terakhir di bulan September. Bahkan ia mencari informasi tentangku.

Suatu petang, aku melantunkan lagu ditemani matahari yang bewarna keemasan. Tiba-tiba saja jari telunjukku tergores sesuatu hingga cairan warna merah itu keluar. Rasa perih itu tak dapat kutahan, akupun mulai menjerit. Sebastian yang mendengar rintihanku kemudian datang mendekatiku dan menekan jariku dengan sebuah sapu tangan putih berininsial SC miliknya agar darah ku berhenti mengalir. Sejak saat itu aku mulai memperhatikan tulang-tulang wajah miliknya yang tampak begitu tegas. Wajahnya yang begitu rupawan memiliki senyuman terindah yang dilengkapi sepasang lesung pipit yang dalam. Aku pun memaki diri sendiri dalam hati. Kemana saja kau selama ini, Ivory? Tidakkah kau menyadari kehadiran malaikat bersapu tangan putih ini?

“Apakah masih sakit?”
suaranya mengagetkanku. Aku tersentak dan langsung menggeleng. “Namaku Sebastian Clementy Shiel. Panggil saja aku Sebastian.” Ucapnya sambil mengulurkan tangannya yang penuh dengan warna disetiap sisinya. Dengan ragu kuulurkan tanganku dan menjawabnya,
”Aku Ivory Bredenza Liest. Terima kasih sudah membantuku barusan.”
Ia kemudian tersenyum ramah padaku.
“Kita sudah lama berada di taman ini bersama, tapi tampaknya baru sekarang kita mengenal satu sama lain. Permainan biola mu sangat indah. Aku sangat menikmatinya.”
Rasanya pipiku bersemu merah. Kuharap tidak terlalu merah hingga menakuti dirinya.
“Benarkah? Aku ikut senang kau menikmati permainanku. Kamu seorang pelukis? Boleh aku lihat hasil karya tanganmu dengan warna-warna tersebut?”
Iapun beranjak ke tempat yang tadi ditinggalkannya dan membawa sebuah kanvas tersebut ke hadapanku.
“Kau boleh melihatnya, tetapi kau jangan terkejut saat melihat gambar yang berada di kanvas ini. Aku hanya kagum dengan kecantikan gadis di bawah kemerahan matahari petang. Dan aku tidak begitu yakin bahwa lukisan ini cukup bagus untuk menyerupai setiap keindahan yang ia miliki.”
Jawabnya membuat aku bingung dan penasasran siapakah gadis yang ia maksud. Ketika ia membalikkan kanvas itu, aku tertegun sekaligus tersanjung. Gambarnya begitu indah, aku tidak mendapati perbedaan antara gadis di lukisan tersebut dengan gadis yang asli. Ia seperti menyerap semua momen yang ada dan kembali menorehkannya secara sempurna.
“Gadis itu pemain biola terhebat yang pernah kutemui.”
Sahutnya ketika ia melihatku terpatung bingung di depan lukisan itu.
“Kamu suka? Maaf ya kalau tidak bagus.”
Ia masih menunggu jawabanku.
“Ini indah sekali! Sangat mirip dengan diriku. Kau adalah pelukis yang sangat handal!”
Seruku kepadanya.
“Terima kasih. Lukisan ini juga tidak akan menjadi indah tanpa adanya dirimu di taman ini. Maaf, aku belum selesai membuat latar belakangnya. Sehingga lukisan ini terlihat kurang rampung.”
Aku rasa aku telah jatuh hati padanya dari saat pertama ku memandangnya. Oh, mungkin aku salah. Maksudku setelah beberapa minggu aku menyadari kehadirannya di taman ini. 

Kamipun makin akrab tiap harinya hingga suatu saat ia menyatakan perasaannya padaku. Aku pun menerimanya untuk menjadi kekasih hatiku. Pada suatu pagi, aku memutuskan untuk mengenalkannya pada ayahku. Ketika ayahku tahu apa pekerjaannya, ia tampak memincingkan matanya dan mengangkat alisnya itu. Akupun segera tahu bahwa ayah tidak menyukainya. Ayah sempat melarangku bertemu dengannya selama beberapa bulan. Sebastian dan aku begitu tersiksa dengan keadaan ini. Tapi kami memutuskan untuk tidak berhenti berusaha demi cinta kami. Aku tahu bahwa ialah lelaki yang sempurna untukku. Aku tidak akan melepaskannya. Kami tetap berusaha untuk berhubungan melalui surat yang kami titipkan melalui bocah pengantar koran. Tidak ada seharipun kulewati tanpa memikirkan bagaimana cara untuk membuat ayah merestui hubungan kami.

Di pertengahan bulan Desember aku jatuh sakit. Demam menyerangku tanpa istirahat selama dua minggu. Aku merasa sangat tidak nyaman dengan keadaanku dan dengan tanpa adanya Sebastian di sisiku. Akupun tidak dapat membalas suratnya. Aku kuatir ia akan berpikir bahwa aku telah menyerah pada keadaan hubungan kami. Ia tidak mengetahui kabar apa-apa tentangku. Sakitku diperparah dengan pikiran yang berkecamuk di otakku ini.

Tetapi ternyata perkiraanku salah, Sebastian tidak hanya tinggal diam. Ia mencari tahu apa yang menyebabkan suratnya tak berbalas. Ia menyusuri jalanan disekitar tempat tinggalku dan bertanya kepada setiap orang yang berlalu-lalang. Hingga suatu hari ia mendapatkan sebuah jawaban dari setiap pertanyaan yang ada di benaknya.

Keadaanku makin hari makin parah, rasa sakit ini rasanya tak dapat ditahan. Letih rasanya aku melawan rasa sakit ini. Baik yang ada di tubuhku maupun yang rasa perih yang ada di hatiku. Kapan ini berakhir, tanyaku dalam hati. Di tengah kekalutanku, aku melihat Sebastian. Wajahnya yang begitu tegas tampak sangat jelas dalam pandanganku. Akupun berpikir bahwa ini hanyalah sebuah mimpi ataupun halusinasi semata yang disebabkan oleh demam yang tak berujung ini. Tetapi semua pikiran itu pupus ketika tangan hangatnya menyentuh jemariku yang sedingin es. Suaranya membuatku yakin bahwa hanya ialah yang dapat menjadi penyembuhku.
“Ivory, bagaimana keadaanmu? Sudah lama aku tak melihat senyummu. Kini yang dapat kulihat hanyalah wajah pucat yang dihiasi air mata di pipimu. Bolehkah ku lihat lagi senyumanmu untuk sedetik saja?”
Aku pun tak kuasa untuk tidak menjawab permintaannya.
“Ivory, kau harus sembuh. Langit tampak begitu murung tanpa kehadiranmu. Kau tahu apa yang kulukis belakangan ini? Yang kulukis hanyalah sebuah coretan bewarna gelap, tanpa lagi warna pelangi. Kau harus sembuh, karena kaulah yang memberi warna pada setiap kehidupan, terutama hidupku.”
Aku menutup mataku, hanya dapat berharap semua itu terkabul.
Namun hatiku makin terasa sakit setelah aku mendengarnya berkata,
“Maukah kau lakukan sesuatu untukku? Kau harus kembali sehat dan tertawa hingga burung-burung ikut bersenandung bersama tawa riangmu. Aku rindu senyumanmu. Aku harap kau tetap bersinar, walaupun aku tak lagi dapat melihatmu. Mungkin ini terakhir kalinya kita bertemu, Ivory. Ini adalah sebuah perpisahan yang harus kita lewati. Tapi aku percaya, dalam hati kita tidak ada perpisahan. Aku akan tetap disisimu tak peduli apa keadaannya.”
Hanya suara lirih yang keluar dari mulutku, “Mengapa?”
Aku tak percaya ini terjadi. Sebuah pertemuan singkat yang menjadi akhir dari kebahagiaanku. Untuk apa aku dapat melihatnya apabila akhirnya aku harus kehilangannya? Untuk apa ada pertemuan apabila akhirnya hanya tersisa perpisahan?

Ternyata Sebastian meminta ayahku untuk datang menemuiku, berharap ada sesuatu perubahan yang dapat membawa kebaikan pada kesehatanku setelah ia bertemu denganku. Sebastian berjanji apabila ayah mengizinkan ia menemuiku maka pertemuan itu merupakan pertemun terakhir antara ku dengannya. Aku tahu bahwa ini semua terasa berat. Namun aku percaya bahwa apa yang ia lakukan adalah yang terbaik untuku. Aku pun berusaha untuk kembali sehat, hanya karena permintaannya yang selalu bermain tiada henti di otakku.

Akupun berusaha menjalani hari-hariku tanpanya dengan berat. Tetapi suatu hari keajaiban datang kepadaku. Semuanya bagai bintang yang mendengar doaku sepanjang malam dan kemudian memutuskan untuk memberikan sedikit percikan kebahagiaannya padaku. Ayah mengizinkan ku bertemu kembali dengan Sebastian. Bahkan ia memberi restu padanya untuk mendampingiku. Semenjak hari itu aku tidak pernah melepaskan genggaman tangannya lagi.

Kenanganku berputar-putar dalam keceriaan dalam malam gelap ini. Aku menyadari bahwa dibalik kegembiraanku ini semua adalah berkat kebaikan ayahku. Sampai kini aku masih belum mengerti apa alasan ayah tiba-tiba memberikanku izin untuk menjadi sepasang insan yang tidak sempurna dimatanya.

Keesokan harinya Sebastian dan aku berjalan menuju pemakaman ayah di ujung sungai Donau. Aku hendak memperdengarkan permainan ku tadi malam kepada ayah lewat sebuah rekaman yang memutarkan kembali nada-nada indah yang kupersembahkan untuknya. Detik demi detik berlalu, rasanya begitu sunyi dibalik irama indah ini. Aku merindukan suara ayah, belaian lembutnya, dan permainan cello nya. Andai aku dapat memutar kembali waktu.

Dalam perjalanan pulang Sebastian memelukku dan meghapus tetesan air mata di pipiku. Ia selalu dapat meyakinkanku bahwa aku tidak sendiri. Tiba-tiba terdengar suara dentuman keras disebelah telingaku dan aku kehilangan kesadaran. Aku sempat mendengar beberapa orang meneriakkan namaku, namun semuanya begitu kabur dan aku tak dapat merasakan tubuhku.

Aku tersesat dalam dunia putih yang begitu tampak polos. Tidak ada jalan-jalan yang ku kenal ataupun taman yang biasa kukunjungi tiap petang untuk bermain biola. Dimana aku? Aku seperti terhempas ke dunia lain. Aku begitu takut, berusaha untuk keluar. Ketika aku sadar ada sebuah suara yang memanggil-manggil namaku, aku berusaha untuk mengikuti suara itu. Akupun berlari dan aku dapat keluar dari dunia yang tampak begitu asing ini.

Aku dapat melihat wajah Sebastian yang tampak begitu samar. Aku berusaha untuk merengkuh wajahnya, namun aku gagal. Aku tidak bisa mengangkat tanganku sama sekali. Kemudian aku mendengar Sebastian berkata,
“Ivory kau sudah sadar? Puji Tuhan. Kau tahu apa yang terjadi? Apa kau masih ingat?”
Aku hanya menggelang kepala dengan lemah. Pikiranku tampak terlalu lelah untuk mengulang kejadian apa yang telah terjadi.
“Kau tertabrak sebuah mobil di perjalanan pulang kita dari pemakaman ayahmu. Aku sudah berusaha untuk melindungimu. Namun kau masih terluka. Kau lalu tak sadarkan diri.”
Ku lihat tubuhnya dan kudapati banyak sekali luka yang menggores kulit putihnya. Akupun meringis sedih.

Kekalutanku makin bertambah setelah kusadari tanganku tidak dapat kugerakan.
“Mengapa aku tidak dapat merasakan tanganku, Sebastian?”
Tanyaku penuh harap bahwa tidak ada sesuatu yang serius terjadi.
“Kau.. kau..”
Sebastian malah menampakkan wajah yang penuh dengan keraguan.
“Apa? Aku kenapa? Jawab aku!”
Teriakku frustrasi.
“Tanganmu tidak dapat berfungsi lagi dengan baik. Tanganmu cedera saat kecelakaan itu. Kau mengalami kelumpuhan pada bagian tanganmu. Kau..”
Tak ku dengarkan lagi apa perkataannya selanjutnya. Aku hanya berteriak, menangis, dan melampiaskan segala kemarahanku dengan air mata. Mengapa ini terjadi padaku? Tolong Tuhan, jawab aku. Tidakkah kau dapat mengambil bagian lain dari diriku? Jangan tanganku Tuhan, tolong jangan! Bagaimana aku dapat hidup tanpa kedua tanganku ini? Hidupku hancur, tiada lagi arti dari kehidupanku. Lebih baik Kau ambil sekalian nyawaku. Teriakan dan tangisanku tak berakhir. Sebastian hanya dapat memelukku. Akupun terlelap dalam tangisan.

Aku bagai mayat hidup. Tidak lagi ada semangat dalam jiwaku. Rasanya hilang semuanya. Tatapanku kosong, Bibirku tak lagi membujur ke atas. Aku tak lagi mempunyai hembusan nafas yang berarti kini. Aku hanyalah seorang gadis tanpa musik dalam hidupnya. Apa lagi yang dapat kuperbuat?

Tiap hari aku hanya memandangi begitu banyak gulungan film yang memutarkan permainanku selama 20 tahun ini. Aku masih hafal setiap bagian dari nada yang dulu kumainkan. Tapi kemudian aku hanya akan melempar semua barang yang ada di sekitarku. Apa gunanya aku mengetahui setiap detail dalam lagu tersebut apabila aku tidak dapat memainkannya? Tangisan yang hanya akhirnya membanjiri tempat tidurku. Rasa marah ini sudah tak dapat ditahan lagi hingga menghasilkan teriakan tanpa suara. Hari itu, mungkin adalah sayatan terakhir dari hidupku.

Sebastian menghampiriku dan memberikanku secarik surat yang tak pernah kulihat sebelumnya. Namun begitu kubuka, aku mengenali setiap tulisan yang ada di surat tersebut.
“Ivory, mungkin kau bertanya-tanya mengapa waktu itu ayah memberimu restu untuk menghabiskan hari-harimu bersama Sebastian. Ayah mengidap penyakit yang tak dapat disembuhkan. Dan apabila kau membaca surat ini, maka ayah sudah tak lagi ada di sisimu. Tetapi ayah sudah mencari orang yang tepat untuk mengganti posisi ayah, yaitu Sebastian. Ayah telah menitipkan dirimu pada Sebastian. Ayah percaya padanya bahwa ia dapat menjagamu sebaik mungkin. Ayah sangat bangga padamu karena kau sudah berhasil mengembangkan bakat yang sudah diberikan Tuhan kepadamu. Mungkin ada banyak rintangan yang akan kau hadapi di hari kedepan dari permainan biolamu. Tapi kau harus yakin, apa yang terjadi di hidupmu adalah rencana terindah Tuhan yang Tuhan sudah siapkan untukmu. Jangan pernah membiarkan mimpi mu itu pudar. Kau harus terus bermain musik. Baik di kehidupan nyata maupun dalam hatimu ketika kau tak lagi dapat bermain di kehidupan nyata. Ayah sayang padamu, Ivory. Kau akan selalu jadi putri kecil kesayangan ayah. Sampaikan salam ayah kepada Sebastian.

Frederich Agusto Liest”

Aku meneteskan air mata, tak dapat kutahan perasaan ini. Rasa rindu yang amat besar bagai mendorongku untuk terus membaca setiap kalimat dari surat ayah lagi dan lagi. Namun Sebastian menarik surat itu dan membawa ku ke taman Stadtpark, dimana kami dahulu biasa bertemu. Disana terdapat biolaku dan juga lukisan yang pernah ia buat untukku.
“Aku ingin melihat lagi gadis yang memukau hatiku memainkan melodi terindah yang pernah kudengar dibawah keemasan matahari petang. Begitu pula ayahmu akan sangat bangga padamu apabila kau tidak berhenti bermain biola. Aku tahu kau tidak dapat menggerakkan tanganmu saat ini, tapi apa itu berarti kau tidak bisa memainkan biola ini lagi?”
Aku bingung dengan pertanyaan Sebastian yang jelas-jelas ia sudah tahu jawabannya.
“Aku akan ada disini. Saat kau tak lagi dapat menggunakan tanganmu, aku akan menjadi tanganmu. Ketika kau tak lagi dapat berjalan, aku akan menjadi kakimu. Diriku adalah sepenuhnya dirimu. Maukah kau mengajariku bermain biola? Agar aku dapat memainkan melodi-melodi yang tak terselesaikan olehmu? Maukah kau mengijinkan ku untuk melanjutkan mimpimu?”

Kini aku tahu. Ayah telah memilih orang yang tepat untukku. Ketika aku tak lagi dapat bermain musik, bukan berarti musik itu mati dalam hidupku. Karena musik itu akan selalu bertumbuh dalam hatiku dan jiwaku. Kini aku duduk di kursi penonton Staatsoper masih memainkan melodi indah dalam hatiku dan melihat permainan indah Sebastian yang telah kuajarkan padanya. Ayah, akhirnya aku telah menjawab semua keinginanmu. Aku tidak berhenti bermusik dalam hatiku dan aku telah memilih seorang pria, yang juga merupakan seorang pemusik. Dalam hatiku, masih ada doa yang penuh dengan harapan bahwa suatu hari nanti aku dapat memainkan biola itu kembali.

p.hilary